Manado, Indonesia – Sebuah tugu baru menjulang setinggi 62 kaki (19
meter) di sebuah puncak dataran tinggi pinggiran kota Manado. Bangunan
itu tidak lain sebuah menorahraksasa, yang mungkin ukurannya paling besar di seluruh dunia. Menorah adalah salah satu lambang suci peribadatan Yahudi.
Lama dikenal sebagai daerah yang banyak dihuni penganut dan misionaris
Kristen, wilayah tersebut kini semakin banyak menampakkan identitas
Yahudi. Dengan restu dari pemerintah daerah setempat, orang-orang
keturunan Yahudi Belanda membuat ruang bagi komunitas mereka di kawasan
itu.
Bendera-bendera
Israel terlihat di pelataran ojek dekat tugu menorah raksasa. Salah
satunya terletak di dekat sebuah sinagog yang dibangun sekitar enam
tahun lalu.
Bintang daud besar menghiasi langit-langit sinagog itu. Tugu, sinagog
dan fasilitasnya semua dibangun dengan biaya dari kas pemerintah daerah.
Sebelum meminta bantuan dari komunitas Yahudi lain di luar Indonesia,
kaum Yahudi setempat mempelajari ajaran agama mereka lewat internet.
Halaman-halaman Taurat hasil cetakan dari internet mereka kumpulkan.
Rekaman video berisi ajaran Yahudi mereka unduh dari YouTube. Mereka bertanya tentang agamanya kepada Rabi Google.
“Kami hanya berusaha menjadi Yahudi yang baik,” kata Toar Palilingan, 27, sebagaimana dikutip The New York Times (22/11). Memimpin sebuah acara makan malam perayaaanSabbath di
kediaman keluarganya, Toar mengenakan pakaian ala Yahudi, dengan topi
hitam lebar, kemeja putih dengan setelan jas warna hitam.
Bersama sekitar sepuluh orang Yahudi, mereka biasanya beribadah di sebuah sinagog peninggalan Belanda di pinggiran kota Manado.
“Tapi jika dibandingkan dengan Yahudi di Yerusalem atau Brooklyn, kami
belum sebanding”, kata Toar Palilingan yang kini juga dikenal dengan
nama Yaakov Baruch, nama Yahudi yang dipakainya.
Palilingan alias Yaakov adalah angota Indonesian Jewish Community (IJC) sekaligus Ketua North Sulawesi Jewish Community (NSJC).
Indonesia dan Israel tidak memiliki hubungan diplomatik, namun sejak
berpuluh-puluh tahun lalu secara diam-diam pemerintah telah melakukan
kerjasama di bidang militer dan ekonomi dengan negara Zionis itu.
Beberapa tahun belakangan, para pengusaha dari Israel dan Yahudi dari
negara lain secara diam-diam berkunjung ke Indonesia untuk mencari
peluang usaha.
Salah satu di antaranya adalah Moshe Kotel. Pria berusia 47 tahun ini
lahir di El Salvador namun memiliki kewarganegaraan Israel dan Amerika
Serikat.
Dia
telah mengunjungi Manado setiap tahun sejak 2003 dan memiliki bisnis
telur organik. Kotel yang memiliki istri orang Manado mengatakan gugup,
ketika pertama kali mendarat di bandara setempat.
“Waktu itu sudah pukul 11 malam, dan saya membawa tefilin,”
cerita Kotel. Tefilin adalah sepasang kotak kulit kecil hitam tempat
menyimpan gulungan perkamen berisi ayat-ayat Torah yang biasa dililitkan
di tangan dan lengan ketika mereka membaca kitab sucinya.
“Tapi setelah melihat ada bendera-bendera Israel di taksi-taksi bandara,
saya selalu merasa diterima di sini,” katanya. Pemerintah Sulawesi
Utara mendirikan tugu menorah itu tahun 2010 lalu dengan biaya 150 ribu
dolar AS, kata Margarita Rumokoy, kepala dinas pariwisata setempat.
Denny Wowiling, seorang anggota DPRD setempat, menekankan bahwa orang
Kristen dan Muslim hidup damai di provinsi Sulawesi Utara. Tetapi ia
juga mengakui adanya kekhawatiran kalau mereka akan dijadikan target
sasaran orang-orang dari luar untuk membuat kerusuhan.
Ia juga mengatakan dirinyalah mengajukan pembangunan menorah itu setelah
melihat tugu serupa yang terdapat di depan gedung Knesset di Israel.
Katanya, dia berharap tugu itu dapat menarik turis-turis dan pengusaha
dari Eropa berkunjung ke daerahnya.
“Agar orang-orang Yahudi melihat bahwa ada simbol sakral ini, simbol
sakral mereka, di luar negaranya,” kata Denny yang seorang penganut
Kristen Pantekosta.
Dua
tahun sebelum menorah raksasa itu didirikan, sebuah developer Kristen
juga mendirikan patung Yesus setinggi 98 kaki di puncak sebuah bukit di
sana. Ukurannya sekitar 3/4 dari patung Kristus Redeemer yang terkenal
dari kota Rio de Janeiro.
Menurut Anthony Reid, seorang pakar masalah Asia Tenggara di Universitas
Nasional Australia, pada masa penjajahan Belanda komunitas Yahudi
menguasai bisnis di banyak kota dagang di Indonesia. Seringkali mereka
menjalani usaha real estate, bertindak sebagai penghubung antara
pemerintah kolonial dan penguasa setempat.
Pada masa sebelum kemerdekaan, keluarga keturunan Yahudi Belanda di
Menado menjalankan agama mereka secara terang-terangan. Setelah itu
mereka pindah agama Kristen atau Islam dengan alasan untuk keamanan.
“Kami menyuruh anak-anak agar jangan pernah bicara tentang leluhur
Yahudi kami,” kata Leo van Beugen, 70, yang dibesarkan sebagai pengikut
Katolik Roma. “Jadi cucu-cucu tidak tahu.” Van Beugen adalah
kakek-pamannya Toar Palilingan.
Baru
lebih dari sepuluh tahun lalu, ketika mereka berdebat tentang Bibel dan
Musa, nenek-bibinya mengungkap tentang darah Yahudi mereka. Toar
Palilingan yang bekerja sebagai dosen di Universitas Sam Ratulangi,
memiliki ayah seorang Kristiani dan ibu seorang Muslim.
Mereka juga menjadi dosen di tempat yang sama. Saudara dari keluarga
ibunya merupakan keturunan imigran Yahudi Belanda abad ke-19, Elias van
Beugen.
Nenek-bibinya menyarankan Toar menemui keluarga Bollegraf, salah satu
keluarga Yahudi terpandang di Menado. Oral Bollegraf yang kini berusia
50 tahun, menganut Kristen Pantekosta sepanjang hidupnya, tapi dia tahu
bahwa kakeknya adalah orang yang memelihara satu-satunya sinagog di
Menado di rumah keluarganya.
“Dulu kami tidak tahu kalau kami Yahudi,” kata Bellograf yang belum lama ini mengunjungi Israel bersama Toar Palilingan.
“Tapi
semua orang di kota ini mengetahui kami keluarga Yahudi.” Toar
melakukan kontak dengan rabi Mordechai Abergel, seorang utusan gerakan Chabad Labavitch di Singapura.
Chabad Lubavitch sendiri bermarkas di Brooklyn, Amerika Serikat. Menurut
Abergel, Toar Palilingan telah melakukan sebuah “usaha yang hebat”
untuk menyambung kembali akar Yahudinya, meskipun dia belum melakukan
perpindahan agama secara penuh.
Untuk menunjukkan komitmennya pada apa yang dia sebut sebagai
‘kemurnian’ ajaran Yahudi ultra Ortodoks, Toar Palilingan kadang
mengenakan pakaian khas Yahudi berupa setelan warna hitam putih saat
berada di tempat-tempat umum di Manado, bahkan ketika dia berada di
Jakarta. “Kebanyakan orang Indonesia belum pernah bertemu orang Yahudi,
jadi mereka mengira saya dari Iran atau tempat lain,” kata Toar.
Eksistensi Yahudi di Indonesia ternyata tidak hanya nampak di Synagog
Surabaya. Di Manado, komunitas Kristen Pantekosta melestarikan agama dan
tradisi Yahudi. New York Times dalam liputannya beberapa waktu lalu menyoroti eksistensi Yahudi Manado bertajuk “In Sliver of Indonesia, Public Embrace of Judaism.”
Sebuah menorah raksasa setinggi 62 kaki, dan mungkin yang terbesar di
dunia, baru saja dibangun. Menorah milik pemerintah daerah setempat ini
melintasi pegunungan dan melewati kota Manado. Menorah adalah salah satu
lambang suci peribadatan Yahudi.
Area ini lama dikenal sebagai salah satu benteng Kristen dan apalagi
baru-baru ini tempat tersebut digunakan sebagai rumah untuk kelompok
Kristen evangelis dan kharismatik. Area yang berada di pinggiran utara
Indonesia ini sangat menonjolkan identitas Yahudi.
Hal tersebut terjadi setelah beberapa orang memeluk agama sesuai dengan
nenek moyang mereka yang merupakan warga negara Belanda keturunan
Yahudi.
Dengan ijin dan bantuan pemda setempat, mereka mendapat tempat untuk
kalangan mereka sendiri di Indonesia, sebuah negara dengan populasi
Muslim terbesar di dunia.
Jadi, uang rakyat dihambur-hamburkan hanya untuk segelintir minoritas kecil (micro minority)
yang justru bukan suku asli asia atau justru bukan untuk suku asli
Indonesia? Dan hanya untuk mencari muka kepada Israel? Tidak seperti
kepercayaan lainnya yang multikultur dan dapat dianut oleh seluruh umat
dunia, Hebrew hanyalah kepercayaan “satu suku” saja.
Jauh lebih baik dana sebesar itu untuk membuat Klenteng, Vihara, Gereja
ataupun Pura, karena pasti lebih banyak orang yang akan mengunjunginya
untuk ibadah dan merupakan kepercayaan dan agama yang sudah dianut
ratusan tahun lalu oleh nenek moyang bangsa Indonesia.
Yahudi hanyalah rumpun suku seperti semua suku lainnya, yang sejak dulu
selalu “diboncengi” oleh kaum penganut disbeliever, satanic dan juga
zionist. Oleh karenanya sejak dulu pula, kaum yang dikenal sebagai
penentang, pemburu dan pembunuh para Nabi ini justru diturunkanlah
orang-orang terpilih tersebut di tengah-tengah kaum mereka, agar mereka
sadar.
Mereka adalah barometer manusia paling “bandel”, namun walau begitu
diantara mereka banyak yang sadar, bahkan menjadi penganut agama yang
taat. Mereka juga pada awalnya selalu disusupi oleh penganut disbeliever
yang justru dari kaumnya sendiri.
Oleh karenanya, nyaris semua Nabi diutus diantara mereka untuk
menyadarkan. Karena sebagai barometer umat, maka jika kaum mereka
mengasihi umat lainnya, maka dunia akan aman, tenteram dan damai tanpa
ada peperangan.
Di Indonesia, kaum turunan Yahudi ini terpaksa membaur dengan umat dan
kepercayaan lain, karena kepercayaan mereka tidak pernah diakui oleh
negara.
Mereka telah berbaur dan masuk ke dalam agama-agama lainnya di
Indonesia. Penganut Yahudi Kristen tetap ke Gereja dengan Al-Kitabnya
namun hanya mengagungkan nabi Musa dan Daud.
Begitu pula dengan kaum Yahudi Islam dengan Al-Qur’annya namun sama
seperti kaum Yahudi Kristen, mereka hanya mengagungkan Nabi mereka saja.
Yahudi Islam menggunakan pakaian yang sangat mirip seorang muslim, baju
koko, peci, sorban dan lainnya. Yang wanitapun berkerudung, sangat
berbaur sekali dengan umat lainnya.
Saat ini sudah ada 3000 Yahudi di Surabaya, 5000 Yahudi di Jakarta dan
1000 Yahudi di Manado. Semoga saja mereka menjadi Yahudi ortodok seperti
kelompok Yahudi Neturei Karta (google), yaitu Yahudi penentang zionist dan pembela bangsa-bangsa yang ditindas zionist, seperti bangsa Palestina.
Yahudi di Indonesia Berupaya Jadi Agama Resmi
Para pemeluk Yahudi di Manado ingin agamanya diakui sebagai agama resmi
di Indonesia dan pernikahan dengan ajaran Yahudi pun diakui secara resmi
di Indonesia. Kata Rabbi Yaakov Baruch, pemimpin ibadah Yahudi di
Manado, selama ini, jika menikah, kaum Yahudi di Indonesia “meminjam”
prosesi agama yang mereka peluk. Itu agar pernikahan mereka diakui
pemerintah.
Dulu, mereka mencantumkan agama lain di kartu tanda penduduk (KTP).
Karena itu, Yaakov bersama anggota komunitas Yahudi lainnya sedang
berupaya agar Yahudi diakui sebagai agama resmi di Indonesia. Selain
itu, dia meminta agama Yahudi menjadi salah satu pilihan kolom agama di
KTP.
Mereka sudah menyewa pengacara untuk mengusahakannya, baik lewat jalur
hukum formal maupun lobi-lobi. “Berkas-berkas sudah kami siapkan.
Pengacara yang tahu detail teknisnya,” kata Yaakov yang juga dosen
fakultas hukum ini.
Yaakov menuturkan, di masa pemerintahan Belanda di Indonesia, agama
Yahudi diakui sebagai agama resmi. Begitu pula ketika masa pemerintahan
Soekarno. Bahkan, hak penganut Yahudi sama dengan agama lainnya seperti
Islam, Kristen, dan Katolik.
Yaakov lantas menunjukkan kopi surat lawas surat Menteri Agraria yang
dirilis pada 1961. Surat tersebut menyatakan mengakui bahwa kaum agama
Israelit (sebutan kaum Yahudi pada masa itu) diakui sebagai agama di
Indonesia. “Kenapa sekarang tidak” Kami memiliki hak yang sama,” kata
Yaakov.
Sampai saat ini Yaakov belum mengetahui jumlah penganut Yahudi seluruh
Indonesia. Yang dia ketahui baru dua komunitas. Yakni, di Manado dan di
Surabaya. Namun, hanya komunitas Yahudi Manado yang terbuka kepada
publik. Di daerah selain Manado dan Surabaya, bisa jadi ada karena
banyak Yahudi Belanda dan Portugis yang datang ke Indonesia.
Dengan Yahudi diakui pemerintah, Yaakov berharap para penganut Yahudi
berani muncul. Mereka juga bisa beribadah dengan tenang dan dokumentasi
anak keturunan mereka menjadi jelas. “Kami capek kucing-kucingan terus.
Sudah saatnya agama Yahudi diakui di Indonesia,” katanya.
Kian EksisSelama
ini para pemeluk agama Yahudi di Indonesia memilih beribadah secara
diam-diam. Tapi, di Manado, Sulawesi Utara, mereka semakin terbuka dalam
beribadah. Jumlah komunitas mereka pun mencapai ratusan orang.
Di Manado dan sekitarnya, setidaknya ada dua bangunan khas Yahudi.
Yakni, tempat ibadah atau yang biasa disebut sinagog dan menorah
setinggi 62 kaki. Sinagog berada di Tondano, Kabupaten Minahasa, sekitar
35 kilometer dari Manado. Sedangkan menorah terletak di atas bukit
Gunung Klabat di Kabupaten Minahasa Utara, sekitar 20 kilometer dari
Manado.
Dengan adanya sinagog, kaum Yahudi di Sulawesi Utara tidak perlu
susah-susah untuk mencari tempat untuk beribadah. Jumlah penganut Yahudi
di Sulawesi Utara sekitar 500 orang. Mereka tidak tinggal di kawasan
tertentu atau berkumpul dalam sebuah perumahan. Mereka tinggal terpisah
dan berbaur dengan masyarakat umum lainnya. Mereka hanya berkumpul
setiap ada perayaan hari raya.
Para
penganut Yahudi di Manado adalah Yahudi keturunan. Mereka mendapat
darah Yahudi ketika Belanda datang saat masa penjajahan. Namun, pada
saat itu mereka mengganti marga dan memilih agama mayoritas daerah yang
ditinggalinya. Itu agar mereka bisa berbaur dengan masyarakat setempat.
Salah satu dari mereka adalah pemimpin spiritual Yahudi Manado, Rabbi
Yaakov Baruch. Dia mendapat darah Yahudi dari kakeknya dan nenek dari
ibunya. Dengan adanya imam Yahudi di Manado, beberapa anak keturunan
Yahudi pun beralih memeluk agama Yahudi meski sebagian besar masih
bertahan dengan agama lama. “Itu pilihan. Kita tidak bisa memaksa,” kata
Yaakov.
Yaakov menuturkan, keberadaan komunitas Yahudi di Manado tidak untuk
menyerukan penganut agama lain menjadi Yahudi. Sebab, untuk menjadi kaum
Yahudi tidak bisa serta merta berpindah agama. Mereka harus memiliki
darah keturunan Yahudi.
Anak keturunan Yahudi, kata Yaakov, baru bisa menjadi penganut Yahudi
jika minimal lahir dari rahim ibu Yahudi meski ayahnya dari bangsa lain.
Meski ayah Yahudi, tapi ibunya tidak, mereka sejatinya tidak bisa.
“Tapi kalau mau ketat begitu, jumlah Yahudi di Indonesia jadi sedikit
sekali. Paling cuma ada 20 orang se-Indonesia. Saya rasa tidak harus
seketat itulah,” katanya.
Target 33 ProvinsiSalah
satu tokoh Yahudi di Indonesia adalah Benjamin Ketang. Dia adalah
direktur eksekutif Indonesia-Israel Public Affairs Committee (IIPAC).
Berbeda dengan Rabbi Yaakov Baruch yang fokus pada ibadah, Benjamin
lebih fokus ke bisnis. Targetnya, mendirikan kantor perwakilan IIPAC di
33 provinsi.
“Ini seperti lembaga lobi. Kami murni di bisnis. Terutama yang langsung
bersinggungan dengan rakyat,” kata Benjamin saat ditemui di Jakarta
pekan lalu. IIPAC adalah lembaga yang didirikan pada 2002. Lembaga
tersebut berkantor di Jember, Jawa Timur. Komite itu bertujuan
menggalang kerja sama antara pemerintah Israel dan Indonesia. Selain
itu, menghubungkan Indonesia dengan investor Yahudi meski bukan dari
negara Israel.
Benjamin
mengatakan, meski Indonesia tidak memiliki hubungan diplomatik dengan
Israel, kerja sama tetap bisa dilakukan. Memang, kerja sama tersebut
bukan G to G alias antar pemerintah. Tetapi, antara investor dan
pengusaha atau pemerintah daerah setempat.
IIPAC, lanjut Benjamin, merancang program-program yang langsung
bersentuhan dengan rakyat. Di antaranya, pemberdayaan petani, nelayan,
dan bidang perkebunan. “Ini bukan menyebarkan agama Yahudi atau politik
Yahudi. Ini semata untuk bisnis,” tuturnya.
Selama ini, kata Benjamin, petani dan nelayan tidak pernah sejahtera.
Setiap kali masa panen tiba, harganya jatuh. Akibatnya, mereka sering
merugi. “Ini kan persoalan modal. Kami coba menghubungkan kebutuhan
rakyat dengan pemodal Yahudi,” ungkapnya.
Lelaki yang menghabiskan dua tahun belajar S-2 peradaban Yahudi di
Universitas Hebrew, Jerusalem, Israel, itu optimistis program tersebut
bisa sukses. Sebab, manfaat program langsung dirasakan masyarakat.
Apalagi dia mengklaim telah mendapat dukungan dari stakeholder. Lembaga
itu juga merupakan organisasi resmi yang sudah mengantongi akta notaris.
Benjamin
menambahkan, investasi bangsa Yahudi di Indonesia bukan barang baru.
Sebelumnya, perusahaan Yahudi menanamkan duitnya pada perusahaan
pertambangan di Indonesia. Termasuk di PT Bakrie and Brothers,
perusahaan milik taipan Indonesia Aburizal Bakrie.
Lelaki 38 tahun itu mengatakan, investasi di Indonesia masih cukup sulit bagi bangsa Yahudi.
Alasannya, Indonesia tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel.
Padahal, banyak pengusaha Israel yang ingin berinvestasi. Dengan membuka
hubungan diplomatik, dia yakin akan ada banyak keuntungan bagi
Indonesia. Mulai posisi politik Indonesia di antara negara-negara dunia
hingga akses terhadap beasiswa pendidikan di Israel.
“Posisi Indonesia dengan Israel selalu sulit. Warga Indonesia tidak bisa
tinggal lama di Israel. Bahkan, belajar di sana saja susah. Prosedur
berbelit. Kalau punya hubungan diplomatik, Indonesia akan dianggap
kawan. Negara seperti Amerika tidak akan berani intervensi,” katanya.(forum.vivanews.com/Jawa Pos/JPPN.com/ddhongkong/icc.wp.com)
Post a Comment
Panduan Memberi Komentar
1.Masukan komentar anda
2.Lalu pada kata 'beri komentar sebagai' , pilih account yang anda punya, bagi yang belum mempunyai account pilih Name/url, isi nama anda dan Kosongkan URL atau isi dengan alamat facebook anda(untuk mengetahui alamat facebook anda silahkan login ke facebook dan pilih profile anda, anda dapat melihat alamat Facebook anda di atas, contoh alamat Facebook punya saya http://www.facebook.com/profile.php?id=1823916177
3.dan kemudian Publikasikan
4.Selesai dan anda tinggal menunggu komentar anda muncul
Semoga bermanfa'at.