Sungguh
menarik apa yang dikemukakan oleh wartawan kawakan dan budayawan
kondang Goenawan Mohamad dalam sebuah surat-elektronik terbuka
(tertanggal 13 Nopember 2002), yang ditujukan kepada salah seorang
netter milis , sebagai berikut: “Jika Indonesia menangkap
para teroris – yang memakai nama Islam – tidak seharusnya Indonesia
menari mengikuti gendang Amerika, atau tak dengan sendirinya benar jika
dianggap demikian. Dalam sebuah ceramah di Singapura saya katakan bahwa
AS adalah ancaman terbesar untuk perdamaian dunia dewasa ini. Tapi itu
tak berarti saya tak akan mendukung langkah penegak hukum (juga polisi)
untuk menghabisi mereka yang dengan alasan anti-Amerika membom dan
membunuh orang di negeri kita”.
Propaganda yang Sistematis
Penyesatan opini, dalam berbagai
bentuknya, sesungguhnya merupakan bagian dari sebuah propaganda.
Propaganda sering diartikan sebagai suatu proses yang melibatkan seorang
komunikator yang bertujuan untuk mengubah sikap, pendapat, dan perilaku
penduduk yang menjadi sasarannya melalu simbol-simbol verbal, tulisan,
dan perilaku; dengan menggunakan media seperti buku-buku, pamflet, film,
ceramah, dan lain-lain. Propaganda merupakan salah satu metode standar
yang digunakan negara untuk mengamankan, memelihara, dan menerapkan
power (kekuasaan) dalam rangka memajukan kepentingan nasionalnya.
(Columbus dan Wolf, Pengantar Hubungan Internasional, hlm. 184).
Melihat defenisi di atas, propaganda
merupakan perkara yang ‘wajib’ ada dalam sebuah negara, apalagi negara
yang ideologis. Di sinilah penguasa atau rakyat sebuah negara harus
benar-benar mampu menilai mana yang merupakan propaganda mana yang
tidak. Penguasa atau rakyat sebuah negara yang gagal memahami propaganda
negara lain akan mengakibatkan perubahan sikap, pendapat, dan
perilakunya justru sejalan dengan kepentingan musuh.
Umat Islam sebagai umat yang ideologis
harus benar-benar menyadari bahwa propaganda itu benar-benar ada.
Propaganda bisa dilakukan secara sistematis untuk mendapat kemanfaatan
jangka pendek atau bisa juga untuk kemanfaatan jangka panjang. Untuk
jangka pendek, misalnya, melegalisasi serangan ke sebuah negara dan
menjatuhkan sebuah rezim atau pemerintahan di sebuah negara; seperti
propaganda AS untuk menjatuhkan rezim Saddam Hussein, Soekarno, dan
Soeharto, termasuk Taliban di Afganistan. Sebagai contoh, saat hendak
menyerang Irak dalam Perang Teluk II, AS melancarkan propaganda dengan
melakukan pembohongan informasi kepada kongres dan publik AS.
Terungkap kebohongan Nariyah yang katanya
merupakan saksi kekejaman tentara Irak. Namun ternyata, gadis ini tidak
pernah bekerja di Kuwait dan saat peristiwa ada di Paris. Atas dasar
laporan bohong itulah, kongres menyetujui serangan ke Irak. (Lihat: ZA
Maulani, dalam, Terorisme dan Konspirasi Anti Islam, hlm. 9). Untuk
menjatuhkan rezim Taliban, AS dalam propagandanya mendaftar
pengkhianatan Taliban terhadap rakyat Afganistan seperti pembantaian,
pelanggaran hak asasi wanita dan anak perempuan, perilaku korup, dan
menggunakan Islam sebagai selubung pembantaian etnis. (Jaringan Teroris,
Deparlu AS, hlm 13).
Propaganda bisa dilakukan juga untuk
kepentingan jangka panjang. Propaganda seperti ini biasanya lebih
bersinggungan dengan nilai-nilai ideologis yang ingin disebarkan di
pihak lawan dan, sebaliknya, menanamkan ‘citra jelek’ terhadap
nilai-nilai ideologis yang dianut oleh negara musuh. Tipe propaganda
seperti ini biasa lebih membutuhkan waktu yang panjang, namun secara
sistematis dan kontinu terus dilakukan. Sebagai contoh, bagaimana AS
dengan gencar menyebarkan nilai-nilai ideologisnya seperti sekularisme,
demokrasi, HAM, kebebasan, dan pasar bebas. Sesungguhnya ini merupakan
propaganda jangka panjang AS. Tujuannya jelas, yakni untuk kepentingan
AS sendiri. Sebaliknya, AS membuat citra jelek terhadap lawan
ideologinya seperti tuduhan teroris, ekstrimis, konservatif, dan
pencitraan jelek lainnya. Metode utama propaganda jangka panjang ini
yang dilakukan oleh AS adalah disinformasi, yakni melakukan penyesatan
opini. Inilah yang sekarang ini sedang dilakukan oleh AS kepada musuh
utama ideologisnya, yakni Islam.
Teknis Khusus ‘Penyesatan Opini’
KJ Holsti, dalam Politik Internasional:
Kerangka untuk Analisis, hlm 220, dengan mengutip buku The Fine Art of
Propaganda: A Study of Father Coughlin’n Speeches, mengemukakan beberapa
teknis propaganda yang sering dilakukan untuk melakukan penyesatan
opini.
Pertama, nama julukan.
Propagandis mencantelkan lambang yang
dibebani emosi pada seseorang atau suatu negeri. Sasaran diharapkan akan
menanggapi cap tersebut tanpa memeriksa bukti. Sebagai contoh, Saddam
Hussain diberi julukan ‘Pembantai dari Baghdad’. Selama Perang Teluk II,
media massa AS menyebut Presiden Irak ini dengan sebutan ‘Binatang
Buas’ (Mary McGroriy, Washington Post, 7/8/90) atau ‘Monster’ (Newsweek,
20/8/90). Orang-orang Arab (yang jelas sangat berhubungan dengan Islam)
dalam budaya populer Barat digambarkan sebagai orang yang licik, tidak
bisa dipercaya, jalang, bernafsu seks besar, dan kejam. Rasulullah saw.
dijuluki ‘si Maniak Seks’ atau ‘sang Teroris’. Perusahaan kartun a Doaug
Marlette membuat headline dengan judul, “What Would Mohammed Drive?”
Digambarkan di sana, Rasulullah mengendrai truk yang berisi bom
nuklir-laden yang mirip dengan truk yang digunakan oleh Timothi McVeigh
dalam pengeboman di Oklahoma City 1995. Pejuang Hamas diberi gelar
teroris. Para penegak syariat Islam dilabeli secara sistematis dengan
julukan ‘kaum skriptualis’, kaum tekstualis’, atau ‘kaum ortodoks dan
konservatif’. Iran diberi gelar ‘negeri para mullah’ (tentu dengan
konotasi negatif). Istilah ‘Muslim garis keras’, sebagai lawan dari
‘Muslim moderat’, digunakan untuk memberikan kesan negatif pada pelaku
penegak syariat Islam. Negara yang tidak sejalan dengan AS di Timur
Tengah dicap sebagai ‘negara militan’, sementara negara yang sejalan
dengan AS disebut ‘negara sahabat’ atau ‘negara moderat’.
Dalam teknis propaganda ini, para
propagandis biasanya menggunakan istilah-istilah emosional dan stereotif
yang telah melekat di telinga pendengar. Seperti kata ‘buas’, ‘maniak’,
garis keras’, biasanya merupakan istilah yang sudah melekat dianggap
‘jahat’. Berbeda dengan kata ‘moderat’, ‘pejuang’, dan ‘substansialis’;
merupakan kata-kata yang dianggap ‘baik’. Kata-kata tersebut kemudian
dilekatkan pada seseorang atau negara tanpa diperiksa lagi kebenarannya.
Kedua, generalitas gemerlapan.
Kalau yang pertama lebih berkaitan dengan
individu atau suatu negeri, yang kedua ini digunakan untuk gagasan atau
kebijakan. Istilah ‘dunia bebas’, ‘dunia beradab’, atau ‘dunia yang
makmur’ adalah generalitas yang paling disukai oleh Barat untuk
mendukung ide kapitalismenya.
Ketiga, pengalihan.
Pelaku propaganda berupaya
mengidentifikasikan suatu gagasan, seseorang, suatu negara, atau
kebijakan dengan mengalihkannya pada gagasan atau kebijakan yang
bertolak belakang. Hal ini untuk menimbulkan citra jelek pada gagasan
atau kebijakan pihak musuh. Khilafah Islamiyah atau negara Islam
dijuluki sebagai ‘negara pada zaman batu’, ‘sistem abad kegelapan’,
‘dunia jumud dan tidak beradab’, ‘sistem utopis’, ‘sistem penuh darah’,
serta julukan-julukan negatif lainnya. Perlawanan terhadap penjajah
Israel di Palestina dialihkan dengan gagasan lain seperti ‘anti Semith’
atau ‘anti negara demokrasi’.
Saat Irak diserang oleh AS dalam Perang
Teluk II, untuk menutupi maksud AS sebenarnya, dipropagandakan bahwa hal
itu demi membebaskan Kuwait. Demikian juga saat sekarang; untuk
menutupi tujuan AS sebenarnya, yakni menguasai minyak Irak,
dipropagandakan bahwa penyerangan atas Irak adalah bukan untuk menyerang
umat Islam, tetapi untuk menjatuhkan diktator Saddam Hussein. Pada
faktanya, saat AS menyerang Irak dalam Perang Teluk II, 200.000 orang
Irak meninggal dunia. Pemerintah dan media massa AS mengabaikan hal ini.
Bahkan, Colin Powel, saat ditanya jumlah korban sipil di Irak yang
meninggal sejak tahun 1991 dalam tersebut, dengan arogan menjawab, tidak
peduli dengan angka-angka korban tersebut, “It’s really not a number I
am terribly interested in.”
Kalaulah AS memang bermaksud baik
menjatuhkan diktator Saddam Hussein, mengapa Raja Fahd, Musharaf, Husni
Mubarak, dan Islam Karimov yang juga diktator tidak diserang. Mengapa
pula Ariel Sharon, yang jelas-jelas membantai umat Islam Palestina,
tidak diserang AS?
Keempat, ‘orang sederhana’.
Setiap pelaku propaganda sadar bahwa
masalah bertambah rumit jika ia tampak pada pendengarnya sebagai ‘orang
asing’. Karena itu, mereka berupaya mengidentifikasikan diri sedekat
mungkin dengan nilai dan gaya hidup sasaran dengan menggunakan logat,
aksen, dan ungkapan setempat. Untuk itu, para propagandis biasanya lebih
suka menggunakan penduduk ‘pribumi’ untuk menyuarakan kepentingan
mereka. Cara yang paling efektif adalah merekayasa seseorang untuk
menjadi tokoh, sumber rujukan, atau ilmuwan yang kompeten. Hal ini
dilakukan lewat proses pendidikan, rekayasa media dengan menampilkan
tokoh tersebut secara terus-menerus, atau dengan memberinya
gelar/penghargaan. Tentu saja dengan kesan wah dan go internasional.
Jadi, umat Islam harus waspada, kalau ada calon tokoh atau tokoh, yang
idenya bertentangan dengan Islam bahkan menyerang Islam, tetapi mendapat
banyak penghargaan dari Barat.
Kelima, kesaksian.
Di sini propagandis menggunakan seseorang
atau lembaga yang dihargai untuk mendukung atau mengecam suatu gagasan
atau kesatuan politik. Diharapkan sasaran mempercayainya karena hal ini
disampaikan oleh yang ‘berwenang’. Propagandis, misalnya, menggunakan
narasumber yang diberi gelar ‘pakar’, ‘ahli’, ‘ilmuwan’, ‘yang
berpengalaman’, atau ‘saksi langsung’ untuk menambah keyakinan para
pendengarnya.
Untuk menambah keyakinan pembaca tentang
adanya jaringan Jamaah Islamiyah atau Jaringan al-Qaedah di Asia
Tenggara, media massa Barat merujuk pada pendapat orang yang mereka
sebut sebagai ‘pakar teroris’ seperti Rohan Gunaratma. Dia disebut
‘pakar’ antaralain karena melakukan studi tentang terorisme atau
mengarang buku tentang terorisme. Di sini tidak dipersoalkan, apakah
buku yang dikarangnya memberikan bukti-bukti ilmiah atau tidak. Demikian
juga untuk menambah keyakinan pendengar tentang ‘pemahaman Islam yang
benar’—maksudnya yang sejalan dengan kepentingan Barat, media massa
Barat merujuk pada orang yang mereka sebut dengan ‘pakar Islam’ atau
‘cendekiawan Muslim. Padahal, yang dirujuk sering merupakan antek Barat
yang dicangkokkan di tubuh umat. Di sini umat Islam penting untuk tetap
melihat argumentasi dari ‘sumber-sumber’ tersebut, bukan terpesona
dengan gelar-gelarnya.
Di samping itu, untuk menambah percaya
pendengarnya, propagandis juga merujuk pada lembaga-lembaga swasta yang
dikesankan independen. Padahal, pada praktiknya, lembaga ini merupakan
lembaga pesanan yang menjalankan proyek-proyek penelitian berskala besar
dengan biaya pemerintah. Banyak studi-studi tentang Islam atau Timur
Tengah yang disponsori oleh pemerintah AS atau organasisi donor yang
berafiliasi kepada pemerintah AS. Lembaga-lembaga yang terkesan
independen ini kemudian memperkuat pandangan pemerintah AS dan mereka
kemudian menjadi rujukan media massa. Di Indonesia, sudah diketahui
umum, pada imasa Orde Baru, untuk memperkuat kebijakan pemerintah yang
otoriter dan korup, penguasa sering merujuk pada CSIS. Padahal, CSIS
adalah lembaga thinktank yang diketahui berhubungan dengan penguasa Orba
pada waktu itu. Dalam kampanye AS sekarang ini juga banyak
lembaga-lembaga yang mendapat bayaran dari Barat untuk mendukung
propaganda Barat. Di AS beberapa lembaga ‘independen’ diketahui memiliki
hubungan erat dengan pemerintah seperti Heritage Foundation.
Keenam, pilihan.
Hampir semua propaganda biasanya
melakukan pilihan fakta; meskipun aktual, namun jarang rinci. Kalaupun
rinci, propagandis menggunakan ‘fakta-fakta’ yang diperlukan saja untuk
membuktikan tujuan yang telah ditetapkan terlebih dulu. Pilihan ini
biasanya digunakan untuk melakukan generalisasi. Perjuangan syariat
Islam diidentikkan dengan kekerasan. Kesimpulan ini dibangun dengan
memilih fakta adanya aksi kekerasaan yang dilakukan oleh sekelompok kaum
Muslim yang ingin menegakkan syariat Islam (itu pun sering tanpa bukti
hukum). Sementara itu, adanya fakta lain berupa perjuangan syariat Islam
tanpa kekerasaan—seperti yang dilakukan oleh Hizbut Tahrir di
Uzbekistan, Yordania, Mesir, dan belahan dunia lainnya—cendrung
ditutupi. Akibatnya, ada kesan kuat bahwa perjuangan syariat Islam
identik dengan teror dan kekerasan.
Pemerintah AS mengeluarkan propaganda
khusus untuk membantah diskriminasi Muslim di AS pasca Serangan 11
Septermber. Dalam iklan propaganda yang disiarkan di hampir seluruh
Dunia Islam, dipilih fakta-fakta tertentu untuk mendukung tujuan
tersebut. Empat orang warga AS yang berasal dari Arab bicara tentang
kebebasan dan kesempatan hidup di Negeri Paman Sam itu. Padahal, banyak
fakta lain di AS yang bertolak belakang dengan iklan tersebut diabaikan;
seperti kewajiban cap jari bagi orang-orang dari Arab, Pakistan, dan
negeri-negeri Islam lainnya; perusakan masjid dan Islamic Centre;
gangguan terhadap wanita Muslimah di Amerika.
Di samping pilihan fakta, pilihan kata
yang digunakan oleh media massa juga berperan dalam propaganda. Jika
yang melakukan penyerangan adalah Muslim Palestina, serangan itu disebut
sebagai serangan dari kelompok militan, fundamentalis, garis keras,
bahkan teroris. Sebaliknya, jika yang melakukan penyerangan dan
pembantaian adalah Israel atau Amerika Serikat, kata yang sering
digunakan adalah serangan balasan (retaliation), serangan untuk
mendahului (preempative strike), atau tindakan hukuman (punitive
action). Pilihan kata itu tentu saja lebih baik dari istilah teroris,
bahkan bisa dijadikan pembenaran tindakan. Hamas yang ingin membebaskan
diri dari penjajah Israel disebut teroris. Sebaliknya, sebutan pejuang
pro kemerdekaan diberikan kepada kelompok Fretelin di Timor Timur yang
ingin memisahkan diri dari Indonesia. Jika yang tertangkap adalah
tentara AS, mereka disebut sandera atau hostage (berkonotasi tidak
bersalah). Sebaliknya, pejuang al-Qaedah yang tertangkap disebut tahanan
atau detainer (yang berkonotasi jahat dan sudah bersalah).
Ketujuh, ikut pihak yang banyak.
Teknik ini memanfaatkan keinginan
pendengar untuk ‘menjadi bagian’ atau ‘satu sikap’ dengan orang banyak.
Propaganda AS dan sekutunya sering menggunakan ungkapan ‘masyarakat
internasional’, ‘sahabat-sahabat AS’, dsb. Dengan teknik ini akan
terbangun suatu anggapan: siapa yang menentang propaganda tersebut akan
menjadi minoritas dan terkucil.
Teknis ini paling sering digunakan oleh
AS dalam kampanye ‘Perang Melawan Terorisme’-nya saat ini. AS dan
sekutunya sering menyatakan bahwa terorisme adalah serangan terhadap
dunia.
Sama halnya dengan ungkapan para penolak
syariat Islam yang sering menggunakan ungkapan, ‘mayoritas umat Islam
Indonesia adalah moderat’, ‘organisasi Islam terbesar di Indonesia saja
menolak syariat Islam’, ‘mereka itu hanya minoritas…’, dan
ungkapan-ungkapan sejenis lainnya. Padahal jelas, kebenaran tidaklah
bergantung pada suara mayoritas.
Kedelapan, kambing hitam frustasi.
Salah satu cara untuk menciptakan
kebencian dan melepaskan frustasi adalah menciptakan kambing hitam.
Propaganda kapitalis acapkali menuduh terorisme sebagai pengacau
kemakmuran dunia, penyebab kemelaratan dan kemiskinan, dan pengganggu
kebebasan dunia dan demokrasi. Padahal semua itu justru merupakan buah
dari sistem kapitalisme yang keji. Syariat Islam dituduh merendahkan
wanita dan menjadi pangkal kemunduran wanita, padahal sistem
kapitalismelah penyebabnya. Tuduhan ‘pemecah-belah’ sering dilontarkan
terhadap pejuang syariat Islam. Padahal pada faktanya, justru ide
nasionalisme, kebebasan menentukan nasib sendiri, dan ide-ide
kapitalisme lainnyalah yang menyebabkan terpecahbelahnya kaum Muslim.
Bukankah ini terjadi pada Timor Timur yang melakukan referandum untuk
memisahkan diri? Alasannya, kebebasan menentukan nasib sendiri.
Merangkul Media Massa
Hubungan antara propagaganda dengan media
massa dan para intelektual adalah hal yang lumrah. Sebab, propaganda
untuk mengubah pemikiran dan sikap sasarannya membutuhkan media massa
sebagai alat yang efektif. Sementara itu, para intelektual sering
dimanfaatkan sebagai narasumber yang dipercaya oleh masyarakat untuk
memperkuat sebuah propaganda. Coulombus dan Wolf menulis, bahwa salah
satu fungsi bisnis propaganda adalah memonitor, mengklasifikasi,
mengevaluasi, dan mempengaruhi media massa. Para wartawan, kolumnis,
komentator, dan pembuat opini yang dianggap bersahabat biasanya diundang
ke kedutaan besar. Pihak kedutaan besar biasanya memberikan informasi
ekslusif, bila perlu menawarkan bonus. Di negara-negara Barat, peran
dinas propaganda luar negeri sangat besar. Hal ini mengingat opini
publik, kelompok penekan, dan media massa terlibat terus-menerus untuk
mempengaruhi kebijakan sebuah negara. (Pengantar Hubungan Internasional,
hlm., 186-187).
Pemerintah AS saat dipimpin oleh Presiden
Eisenhower pernah membentuk Badan Informasi Amerika Serikat (U.S.I.A)
untuk menjalankan fungsi propaganda ini. Badan yang kemudian berganti
nama ini menjalankan program-program radio multi bahasa pada Radio Voice
of America (VOA); Radio Free Europe, telivisi, film dan media berita;
serta program khusus seperti pertukaran mahasiswa dan sarjana, pidato
keliling, konferensi-konferensi artistik, keilmuan, dan ilmiah.
(Pengantar Hubungan Internasional, hlm. 186).
Pemerintah AS juga melakukan propaganda
lewat media massa ‘swasta’ yang mengklaim diri independen. Dalam kasus
isu terorisme, misalnya, sebagian besar media massa AS menggunakan
pemerintah sebagai sumber utama berita mereka. Dari sebuah riset yang
dilakukan oleh Edward Herman dan Gerry O’Sulivan, terbukti bahwa
sumber-sumber media massa yang digunakan sebagian besar adalah pejabat
pemerintah (42,3%).(Lihat: Satrio Arismunandar, Jurnal Ilmu Politik no.
12, hlm. 69). Tentu saja, informasi itu akan sangat bias, karena
dipengaruhi oleh kepentingan pemerintah, dan biasanya, tanpa pengujian.
Keterlibatan pemerintah AS, dengan
memanfaatkan wartawan sebagai agen intelijen mereka, sudah terjadi sejak
Perang Dingin. Seperti yang ditulis surat kabar New York Times, “Sejak
berakhirnya Perang Dunia II, lebih dari 30 atau bahkan 100 wartawan
Amerika dari sejumlah organisasi berita dilibatkan sebagai pekerja
operasi intelijen yang dibayar sementara menjalankan tugas-tugas
reportasenya.”
Pada pertemuan dengan serikat redaktur
surat kabar bergengsi, American Society of Newspaper Editors, pada April
1980, Direktur CIA Marsekal Stansfeild Truner mengatakan, “Bila
dibutuhkan, ia tak akan ragu-ragu merekrut jurnalis.”
Agen CIA juga memiliki, mensubsidi, dan
mempengaruhi banyak surat kabar, kantor berita, dan media lainnya. (Ade
Armando, dalam, Terorisme dan Konspirasi Anti Islam, hlm. 78-79). Dalam
era Perang Dingin, Badan Propaganda Amerika Serikat (ICA) sering
mendukung penulis atau editor surat kabar asing yang menulis secara baik
mengenai AS dan kebijakannya. (K.J. Holsti, Politik Internasional:
Kerangka untuk Analisis, hlm 222). Tidak aneh jika kemudian media massa
Barat sangat miring dalam memberitakan perjuangan umat Islam. Di
Indonesia, bahkan ada TV yang dengan tegas menyatakan visinya
sekularisme dan anti syariat Islam. Kalaupun membuat talkshow tentang
syariat Islam dan menghadirkan pembicara yang pro dan yang kontra,
biasanya acaranya direkasaya sedemikian rupa, baik dari segi waktu
maupun moderatornya.
Perhatikan perubahan istilah ‘pejuang’
menjadi ‘teroris’ yang digunakan untuk kaum mujahidin Afganistan. Media
massa Barat menggunakan istilah pejuang, karena saat itu AS memiliki
kepentingan untuk mengusir pengaruh komunis di negeri itu. Setelah
kepentingan AS berubah, yakni ingin menguasai Afganistan, dan istilah
‘pejuang’ kemudian menjadi ‘teroris’.
Para Intelektual Pengkhianat
Kaum intelektual Islam juga digunakan
sebagai alat propaganda AS, baik sadar maupun tidak. Karena itu, AS
sangat getol memberikan beasiswa kepada para pelajar di seluruh dunia.
Pemerintah AS sangat sadar bahwa para pelajar yang sudah dibina oleh
mereka akan menjadi corong-corong propaganda kepentingan Amerika di
negara asal mereka masing-masing.
Mereka pun sangat jeli memilih siapa
pelajar yang mereka beri beasiswa untuk melanjutkan pendidikan ke luar
negeri. Mereka biasanya adalah para aktivis serta para pelajar yang
cerdas dan unggul namun lemah secara ideologis atau mereka yang berasal
dari organisasi, etnis, atau agama yang berpengaruh di sebuah negara.
Tidak mengherankan, untuk Indonesia, beasiswa luar negeri sering
diberikan kepada para pelajar dari organisasi Islam yang besar di
Indonesia. Tentu saja, mereka berharap, para pelajar yang bisa
dipengaruhi akan menjadi corong mereka dengan legitimasi yang kuat,
yakni dari organisasi Islam yang besar di Indonesia; meskipun tidak
semua kemudian ‘berhasil’ mereka jadikan corong. (Lebih jelas, lihat:
Holsty, Politik Internasional: Kerangka untuk Analisis, hlm. 223).
Dunia Islam saat ini dipenuhi oleh para
intelektual pengkhianat semacam di atas. Mereka menyebarkan ide-ide
kapitalis seperti sekularisme, demokrasi, individualisme, HAM,
pluralisme, dll. Mereka juga menjadi pembela sejati ‘yang dibiayai’ oleh
pemerintah kapitalis. Tujuannya adalah untuk merusak akidah umat dan
menjauhkan mereka dari syariat Islam. Dua perkara ini, akidah dan
syariat Islam, memang menjadi sumber kekuatan umat Islam yang utama.
Lihat saja, bagaimana para alumnus
universitas Barat pengkhianat itu membela habis-habisan kebijakan
ekonomi kapitalis di Indonesia; membela IMF dan Bank Dunia. Mulut mereka
juga berbusa-busa membela privatisasi, penghapusan utang konglomerat,
pencabutan subsidi, dan mengikuti arahan tuan kapitalis mereka. Mereka
tidak mau tahu, bagaimana penderitaan rakyat yang semakin terpuruk
akibat diterapkan sistem ekonomi kapitalis tersebut.
Perhatikan pula pengusung ide libelisme
yang ingin menghancurkan akidah umat dan syariat Islam. Mereka getol
menyerukan ‘dialog antarumat beragama’ untuk menyatakan semua agama itu
sama. Sekularisme juga mereka ajarkan kepada umat Islam dengan
mengatakan bahwa Islam itu adalah masalah individual; tidak ada
hubungannya dengan masalah publik seperti ekonomi dan politik; juga
tidak ada urusannya dengan negara. Seruan-seruan mereka ini kemudian
melanggengkan sistem sekularisme di Dunia Islam yang berarti
melanggengkan penjajahan kapitalis Barat.
(Hizbut-tahrir.or.id)



Post a Comment
Panduan Memberi Komentar
1.Masukan komentar anda
2.Lalu pada kata 'beri komentar sebagai' , pilih account yang anda punya, bagi yang belum mempunyai account pilih Name/url, isi nama anda dan Kosongkan URL atau isi dengan alamat facebook anda(untuk mengetahui alamat facebook anda silahkan login ke facebook dan pilih profile anda, anda dapat melihat alamat Facebook anda di atas, contoh alamat Facebook punya saya http://www.facebook.com/profile.php?id=1823916177
3.dan kemudian Publikasikan
4.Selesai dan anda tinggal menunggu komentar anda muncul
Semoga bermanfa'at.