Qiraat Sab'ah dan Seni Baca Alquran- Sedikitnya, ada tujuh macam bacaan yang berkembang di dunia Islam dalam membacakan ayat-ayat Alquran sesuai dengan dialek umat di suatu daerah.
Istilah
qiraat yang biasa digunakan adalah cara pengucapan tiap kata dari
ayat-ayat Alquran melalui jalur penuturan tertentu. Jalur penuturan itu
meskipun berbeda-beda karena mengikuti aliran (mazhab) para imam qiraat,
tetapi semuanya mengacu kepada bacaan yang disandarkan oleh Rasulullah
SAW. Perbedaan qiraat ini berkisar pada lajnah (dialek), tafkhim
(penyahduan bacaan), tarqiq (pelembutan), imla (pengejaan), madd
(panjang nada), qasr (pendek nada), tasydid (penebalan nada), dan
takhfif (penipisan nada).
Contoh
perbedaan qiraat yang paling sering kita jumpai adalah imaalah. Pada
beberapa lafal Alquran, sebagian orang Arab mengucapkan vocal 'e'
sebagai ganti dari 'a'. Misalnya, ucapan 'wadl-dluhee wallaili idza
sajee. Maa wadda'aka rabuka wa maa qolee'. Kendati masing-masing imam
punya beberapa lafal bacaan yang berbeda, dalam mushaf yang kita pakai
sehari-hari tidak terdapat tanda perbedaan bacaan itu. Perbedaan lafal
bacaan ini hanya bisa kita temui dalam kitab-kitab tafsir yang klasik.
Biasanya, dalam kitab-kitab klasik tersebut, akan ditemukan penjelasan
tentang perbedaan para imam dalam membaca masing-masing lafal itu.
Menurut
berbagai literatur sejarah, perbedaan dalam melafalkan ayat-ayat
Alquran ini mulai terjadi pada masa Khalifah Usman bin Affan. Ketika
itu, Usman mengirimkan mushaf ke pelosok negeri yang dikuasai Islam
dengan menyertakan orang yang sesuai qiraatnya dengan mushaf-mushaf
tersebut. Qiraat ini berbeda satu dengan lainnya karena mereka
mengambilnya dari sahabat yang berbeda pula. Perbedaan ini berlanjut
pada tingkat tabiin di setiap daerah penyebaran. Demikian seterusnya
sampai munculnya imam qurra'. Begitu banyaknya jenis qiraat sehingga
seorang imam, Abu Ubaid al-Qasim ibn Salam, tergerak untuk menjadi orang
pertama yang mengumpulkan berbagai qiraat dan menyusunnya dalam satu
kitab. Menyusul kemudian ulama lainnya menyusun berbagai kitab qiraat
dengan masing-masing metode penulisan dan kategorisasinya. Demi
kemudahan mengenali qiraat yang banyak itu, pengelompokan dan pembagian
jenisnya adalah cara yang sering digunakan. Dari segi jumlah, ada tiga
macam qiraat yang terkenal, yaitu qiraat sab'ah, 'asyrah, dan syadzah.
Sedangkan, Ibn al-Jazari membaginya dari segi kaidah hadis dan kekuatan
sanadnya. Namun demikian, kedua pembagian ini saling terkait satu dengan
lainnya.
Jenis qiraat yang muncul pertama kali adalah qiraat sab'ah. Qiraat ini telah akrab di dunia akademis sejak abad ke-2 H. Namun, pada masa itu, qiraat sab'ah ini belum dikenal secara luas di kalangan umat Islam. Yang membuat tidak atau belum memasyarakatnya qiraat tersebut adalah karena kecenderungan ulama-ulama saat itu hanya memasyarakatkan satu jenis qiraat dengan mengabaikan qiraat yang lain, baik yang tidak benar maupun dianggap benar. Abu Bakar Ahmad atau yang dikenal dengan Ibnu Mujahid menyusun sebuah kitab yang diberi nama Kitab Sab'ah. Oleh banyak pihak, kitab ini menuai kecaman sebab dianggap mengakibatkan kerancuan pemahaman orang banyak terhadap pengertian 'tujuh kata' yang dengannya Alquran diturunkan. Kitab Sab'ah disusun Ibnu Mujahid dengan dengan cara mengumpulkan tujuh jenis qiraat yang mempunyai sanad bersambung kepada sahabat Rasulullah SAW terkemuka. Mereka adalah Abdullah bin Katsir al-Dariy dari Makkah, Nafi' bin Abd al-Rahman ibn Abu Nu'aim dari Madinah, Abdullah al-Yashibiyn atau Abu Amir al-Dimasyqi dari Syam, Zabban ibn al-Ala bin Ammar atau Abu Amr dari Bashrah, Ibnu Ishaq al-Hadrami atau Ya'qub dari Bashrah, Ibnu Habib al-Zayyat atau Hamzah dari Kufah, dan Ibnu Abi al-Najud al-Asadly atau Ashim dari Kufah. Ketika itu, Ibnu Mujahid menghimpun qiraat-qiraat mereka. Ia menandakan nama Ya'qub untuk digantikan posisinya dengan al-Kisai dari Kufah. Pergantian ini memberi kesan bahwa ia menganggap cukup Abu Amr yang mewakili Bashrah. Sehingga, untuk Kufah, ia menetapkan tiga nama, yaitu Hamzah, Ashim, dan al-Kisai. Meskipun di luar tujuh imam di atas masih banyak nama lainnya, kemasyhuran tujuh imam tersebut semakin luas setelah Ibnu Mujahid secara khusus membukukan qiraat-qiraat mereka. Nazam
Jenis qiraat yang muncul pertama kali adalah qiraat sab'ah. Qiraat ini telah akrab di dunia akademis sejak abad ke-2 H. Namun, pada masa itu, qiraat sab'ah ini belum dikenal secara luas di kalangan umat Islam. Yang membuat tidak atau belum memasyarakatnya qiraat tersebut adalah karena kecenderungan ulama-ulama saat itu hanya memasyarakatkan satu jenis qiraat dengan mengabaikan qiraat yang lain, baik yang tidak benar maupun dianggap benar. Abu Bakar Ahmad atau yang dikenal dengan Ibnu Mujahid menyusun sebuah kitab yang diberi nama Kitab Sab'ah. Oleh banyak pihak, kitab ini menuai kecaman sebab dianggap mengakibatkan kerancuan pemahaman orang banyak terhadap pengertian 'tujuh kata' yang dengannya Alquran diturunkan. Kitab Sab'ah disusun Ibnu Mujahid dengan dengan cara mengumpulkan tujuh jenis qiraat yang mempunyai sanad bersambung kepada sahabat Rasulullah SAW terkemuka. Mereka adalah Abdullah bin Katsir al-Dariy dari Makkah, Nafi' bin Abd al-Rahman ibn Abu Nu'aim dari Madinah, Abdullah al-Yashibiyn atau Abu Amir al-Dimasyqi dari Syam, Zabban ibn al-Ala bin Ammar atau Abu Amr dari Bashrah, Ibnu Ishaq al-Hadrami atau Ya'qub dari Bashrah, Ibnu Habib al-Zayyat atau Hamzah dari Kufah, dan Ibnu Abi al-Najud al-Asadly atau Ashim dari Kufah. Ketika itu, Ibnu Mujahid menghimpun qiraat-qiraat mereka. Ia menandakan nama Ya'qub untuk digantikan posisinya dengan al-Kisai dari Kufah. Pergantian ini memberi kesan bahwa ia menganggap cukup Abu Amr yang mewakili Bashrah. Sehingga, untuk Kufah, ia menetapkan tiga nama, yaitu Hamzah, Ashim, dan al-Kisai. Meskipun di luar tujuh imam di atas masih banyak nama lainnya, kemasyhuran tujuh imam tersebut semakin luas setelah Ibnu Mujahid secara khusus membukukan qiraat-qiraat mereka. Nazam
Kendati
ilmu qiraat berhubungan dengan pelafalan ayat-ayat Alquran, ia tidak
memiliki kaitan dengan melagukan bacaan Alquran. Khusus untuk masalah
melagukan Alquran, biasanya dijelaskan dalam nazam, yaitu seni membaca
Alquran. Keberadaan ilmu nazam diterangkan secara jelas dalam firman
Allah dalam surat Almuzzammil ayat 4, ''Bacalah Alquran itu secara
tartil.'' Di berbagai wilayah negeri Islam, berkembang aneka ragam seni
membaca Alquran. Dalam pelajaran nazam, dikenal berbagai jenis seni
membaca Alquran, seperti Nahawan, Bayati, Hijaz, Shaba, Ras, Jiharkah,
Syika, dan lainnya. Semua jenis lagu atau irama itu tidak ada kaitannya
dengan ilmu qiraat sab'ah. Semata-mata hanya seni membaca secara tartil
(indah) dan tak ada kaitannya dengan bagaimana melafalkan ayat Alquran.
Umumnya,
para pembaca Alquran dari Mesir yang membawa seni baca Alquran ke
Indonesia. Mereka mengajarkan berbagai macam lagu dan memberikan beragam
variasinya serta membuat harmoni yang khas. Seni seperti itulah yang
sering kali diperlombakan dalam acara musabaqah tilawatil quran (MTQ).
Meski bukan satu-satunya jenis perlombaan, biasanya yang paling mencuat
memang masalah seni membaca. Sedangkan, bacaan qiraat sab'ah justru
merupakan cabang ilmu Alquran yang bersifat syar'i. Bahkan, dalam banyak
hal, perbedaan qiraat ini pun berpengaruh kepada perbedaan makna dan
kesimpulan hukum. Sedangkan, seni baca Alquran sama sekali di luar hal
ini. Sebab, tujuannya adalah menyuguhkan bacaan Alquran seindah mungkin.
Nazam merupakan salah satu bentuk ekspresi seni dalam Islam. Nazam ini
telah tumbuh sejak lama.
Ibnu
Manzur menyatakan bahwa ada dua teori tentang asal mula munculnya nazam
Alquran. Pertama, nazam Alquran berasal dari nyanyian nenek moyang
bangsa Arab. Kedua, nazam terinspirasi dari nyanyian budak-budak kafir
yang menjadi tawanan perang. Kedua teori tersebut menegaskan bahwa
lagu-lagu Alquran berasal dari khazanah tradisional Arab. Dengan teori
ini pula, ditegaskan bahwa lagu-lagu Alquran idealnya bernuansa irama
Arab. Seni baca Alquran baru menampakkan geliatnya pada awal abad ke-20 M
yang berpusat di Makkah dan Madinah serta di Indonesia sebagai negeri
berpenduduk mayoritas Muslim yang sangat aktif mentransfer ilmu-ilmu
agama (termasuk nazam) sejak awal abad ke-19 M. Hingga hari ini, Makkah
dan Mesir merupakan kiblat nazam dunia. Masing-masing kiblat nazam
memiliki karakteristik tersendiri.
Dalam
Makkawi, dikenal lagu Banjakah, Hijaz, Mayya, Rakby, Jaharkah, Syikah,
dan Dukkah. Sementara itu, pada Misri terdapat Bayyati, Hijaz, Shoba,
Ras, Jiharkah, Sikah, dan Nahawan. Pada abad ke-20, kedua model lagu
tersebut masuk ke Indonesia. Transmisi lagu-lagu tersebut dilakukan oleh
ulama-ulama yang mengkaji ilmu-ilmu agama di sana yang pulang ke tanah
air untuk mengembangkan ilmunya, termasuk seni baca Alquran. Lagu
Makkawi sangat digandrungi di awal perkembangannya di Indonesia karena
liriknya yang sangat sederhana dan relatif datar. Lagu Makkawi mewujud
dalam Barzanji. Beberapa qari yang menjadi eksponen aliran ini adalah KH
Arwani, KH Sya'roni, KH Munawwir, KH Abdul Qadir, KH Damanhuri, KH
Saleh Ma'mun, KH Muntaha, dan KH Azra'i Abdurrauf. Memasuki paruh abad
ke-20, seiring dengan eksebisi qari Mesir ke Indonesia, mulai marak
berkembang lagu model Misri. Pada tahun 60-an, Pemerintah Mesir
menyuplai sejumlah maestro qari, seperti Syekh Abdul Basith Abdus Somad,
Syekh Musthofa Ismail, Syekh Mahmud Kholil Al Hushori, dan Syekh Abdul
Qadir Abdul Azim. Animo dan atensi umat Islam Indonesia terhadap
lagu-lagu Misri demikian tinggi. Hal ini disebabkan oleh karakter lagu
Misri yang lebih dinamis dan merdu. Keadaan ini cocok dengan kondisi
alam Indonesia. Sejumlah qari yang menjadi elaboran lagu Misri adalah KH
Bashori Alwi, KH Mukhtar Lutfi, KH Aziz Muslim, KH Mansur Ma'mun, KH
Muhammad Assiry, dan KH Ahmad Syahid.
Baca dan Pahami Kandungan Alquran
Haji
Muammar ZA tentu dikenal banyak orang. Dia adalah qari internasional
asal Indonesia yang menjadi juara MTQ tingkat internasional. Selain H
Muammar ZA, masih terdapat beberapa nama lain yang juga indah dan merdu
dalam membaca Alquran, di antaranya H Nanang Qosim, Maria Ulfa, dan H
Khumaedi. Sebagai seorang qari yang sangat fasih daam membaca Alquran, H
Muammar berusaha menularkan ilmu membaca Alquran kepada generasi muda
Muslim masa kini. Bahkan, di beberapa pesantren, sering diadakan
pelatihan membaca Alquran secara tartil (indah) dengan menggunakan seni
baca Alquran. Mereka ini umumnya bergabung dalam organisasi yang bernama
Jam'iyyatul Qurra wa al-Huffazh, organisasi yang membina pelajaran
membaca indah dan menghafal Alquran. Banyak orang yang ingin membaca
Alquran dengan baik dan benar serta mampu melafalkannya dengan seni yang
indah.
Menurut
H Muammar ZA, ada beberapa hal yang harus diperhatikan bagi seorang
qari dalam melafalkan ayat-ayat Alquran. Pertama, hendaknya Alquran
dibaca secara fasih dan dengan memerhatikan tajwid. Menurut Muammar,
kedua hal ini merupakan syarat utama dalam seni baca Alquran. Sehingga,
kedua-duanya harus berjalan secara harmonis. ''Kalau kita hanya mengejar
lagu tanpa memerhatikan tajwid, ini merupakan satu kesalahan yang
sangat besar. Membaca dengan bertajwid, membaca dengan fasih, kemudian
dilagukan secara harmonis,'' sebagaimana diungkapkannya dalam kaset
bimbingan membaca Alquran dengan tartil. Kedua, seorang qari harus
mempunyai bakat dan juga hobi. Menurutnya, kalau membaca Alquran sudah
menjadi sebuah hobi, itu dapat memberikan satu jaminan bahwa seseorang
dapat berlatih secara kontinu (istikamah). Sedangkan, dengan bakat yang
dimiliki, berarti yang bersangkutan memiliki suara yang khas dan
dibutuhkan dalam membaca Alquran dengan baik, benar, dan indah. Begitu
juga dengan pernafasan, hendaknya sering dilatih agar panjang. Ketiga,
yang tidak kurang pentingnya, menurut Muammar, seorang qari harus
memiliki sifat sabar dan ikhlas. Pelajaran seni baca Alquran dinilainya
betul-betul memerlukan kesabaran. Dalam mempelajari seni baca Alquran
ini, seseorang akan banyak menghadapi kesulitan-kesulitan. Sebab, pada
seni baca Alquran, banyak hal yang terkait di dalamnya, baik dari segi
tajwidnya maupun qiraatnya. Kita perlu mempelajari bagaimana pernafasan
yang baik, bagaimana seluk-beluk lagu, dari lagu A, B, C, dan
sebagainya. Semua itu betul-betul memerlukan kesabaran. Kemudian, kita
juga harus ikhlas. Ikhlas dalam arti betul-betul mempelajari seni baca
Alquran ini karena Allah SWT semata.
Lebih
jauh Muammar menuturkan bahwa lagu-lagu yang dianggap sebagai lagu
pokok dalam seni baca Alquran ini ada tujuh jenis. Yaitu, Bayyati,
Shaba, Hijaz, Nahawan, Ros, Jiharkah, dan Syika. Di luar ketujuh jenis
lagu ini, dianggap sebagai lagu cabang yang nantinya akan dipergunakan
sebagai variasi dalam membentuk susunan atau komposisi lagu. Di antara
lagu-lagu yang dianggap sebagai lagu cabang, misalnya lagu Nakriz,
Awsaq, Zinjiran, Raml, Karqouk, dan sebagainya. Ketujuh jenis lagu pokok
dalam seni baca Alquran ini biasanya dibawakan dalam beberapa tahap
tingkatan nada, dari mulai nada yang paling rendah sampai nada yang
paling tinggi. Dalam tatanan seni baca Alquran, tingkatan nada dikenal
ada empat tahap, yakni qarar (rendah), nawa (sedang), jawab (tinggi),
dan jawabul jawab (sangat tinggi). Jenis lagu inilah yang 'wajib'
dipergunakan pada saat diselenggarakan perlombaan membaca Alquran.