Mike Portal | “Bukan apa yang mereka katakan, melainkan apa yang
mereka tidak katakan” (Jerry D. Gray)
Dalam acara dialog 2 hari antar wartawan dari 44 negara di Bali
(2/9/2006), presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengkritik standar
ganda yang diterapkan media Barat (baca: Amerika) dalam memberitakan
kaum muslim di berbagai negara. Bagi SBY, ada berita yang sengaja ditutup-tutupi dan ada yang sengaja dibesar-besarkan oleh media Barat.
Kegalauan SBY ini sejalan dengan pendapat Jerry D. Gray (2006) yang
mengungkap bahwa media Barat tidak saja menutup-nutupi suatu fakta,
tetapi membuat fakta yang sebenarnya tidak terjadi. Menurut mantan US
Air Force dan wartawan CNBC Asia tersebut, media Amerika telah banyak
membohongi publik Amerika sendiri dan masyarakat dunia untuk meraih
kepentingannya sebagai “polisi dunia”.
Contohnya kasus Saddam Hussain (penguasa Irak 25 tahun yang
akhirnya dihukum gantung pada 21 Agustus 2004 setelah Negara itu
diserang Amerika). Ia tidak pernah memiliki senjata pemusnah massal.
Namun, dengan bantuan media korporat Amerika, Bush membohongi publik
agar percaya pada informasi tersebut. Kampanye kotor yang dilakukan
terhadap mantan presiden Irak itu sedemikian hebatnya, bahkan sekiranya
kita bisa membersihkan Saddam dari setiap tuduhan, dunia tetap membenci
dan memandangnya sebagai seorang jahat.
Bahkan apa yang pernah dicatat oleh Noam Chomsky (2001) semakin
memperkuat kenyataan itu. Penentangan yang pernah dilakukan presiden
Lybia Muammar Qaddafi atas Amerika pun dituduh sebagai
pembangkangan atas perdamaian internasional. Bahkan Amerika (lewat
medianya) menyebut Qaddafi dengan “momok bengis terorisme” dan “anjing
gila”. Padahal tak tanggung-tanggung Amerika pernah menenggelamkan kapal
Libya di teluk Sidra.
Bagaimana Peran Media?
Yang bisa menggambarkan kenyataan tersebut adalah karena Amerika dan
media-medianya punya kepentingan terhadap dunia ini. Dalam catatan Joel
Andreas (2004), Amerika sangat lihai berlindung di balik ungkapan ideal.
Misalnya, hanya alasan untuk merebut kilang minyak di Timur Tengah yang
merupakan dua pertiga cadangan minyak dunia, AS berdalih melindungi
Timur Tengah dari ancaman komunis, terorisme, dan sebagainya.
Bukti perubahan sikap karena kepentingan bisa dilihat dari kasus Saddam Hussein dan Osama Bin Laden
(Pimpinan Al Qaeda). Saddam Hussein berkuasa atas dukungan AS pada
tahun 1963 setelah menggulingkan Raja Irak Abdel Karim Qasim. Tetapi, Saddam Hussein justru menasionalisasi minyaknya dan tidak ingin membaginya bersama AS.
Tentu saja AS was-was dan marah. Sampai-sampai Henry Kissinger
mengatakan bahwa minyak terlalu penting dikelola bangsa Arab dan Timur
Tengah. Akhirnya, Saddam Hussein dengan berbagai cara harus digulingkan.
Setelah tahun 1991 tidak berhasil, baru tahun 2003 berhasil dengan
menyisakan persoalan yang tidak kunjung usai karena AS justru semakin
memperkuat kekuasaanya di Irak. Restrukturisasi yang pernah dijanjikan
juga tidak pernah dilakukan.
Apa yang terjadi pada Saddam Hussein, hampir sama dengan yang dialami Osama Bin Laden. Awalnya, ia adalah sekutu Amerika ketika perang melawan Uni Soviet di Afganistan. Tetapi, setelah Uni Soviet keluar dari Afganistan, Osama Bin Laden tidak membela kepentingan AS.
Bahkan berusaha memeranginya. Osama tidak suka cara-cara Amerika
menguasai dunia, termasuk terlalu “menganakemaskan” Israel. Maka dia
kemudian menjadi musuh nomor 1 AS. Apalagi kasus peledakan gedung World
Trade Center (WTC) tahun 2001 semakin mengukuhkan AS untuk memerangi
terorisme dunia. Artinya, dengan alasan memberantas teroris, AS semakin
punya alasan kuat mencengkeram kekuasaannya.
Ambisi AS ini ternyata didukung juga oleh media massanya. Itu dimulai
pada tahun 1954. Sebabnya tak lain karena televisi-televisi AS dikuasai
oleh perusahaan besar dunia yang punya kepentingan ekspansi bisnis ke
negara lain. Sebut saja misalnya NBC oleh GE, CBS oleh Viacom, ABC oleh Disney, Fox oleh Rupert Murdoch’s News Corporation, dan CNN
oleh Time Warner. Bahkan dewan direktur mereka juga anggota direksi
perusahaan pembuat senjata dan perusahaan lain di dunia. Semua media itu
tentu saja mendukung perang AS karena punya kepentingan bisnis di
dalamnya.
Jadi jika presiden SBY mengatakan media Barat mempunyai standar ganda
sudah bukan menjadi rahasia lagi. Itu tak lain karena media Barat
mempunyai agenda tersembunyi yang didukung oleh kebijakan pemerintahnya.
Dalam cultural imperialism theory (teori imperialisme budaya) dikatakan
bahwa media Barat memang sengaja ingin menyebarkan budayanya lewat
berbagai tampilan, berita agar media Timur dan budaya Timur menjadi
“Barat”.
Bagaimana Dampaknya?
Dampak nyata dari pemberitaan media Barat tersebut kita akhirnya menjadi
“Barat”. Berbagai sikap, perilaku, atribut, tolok ukur kita memakai
standar Barat. Misalnya, bagaimana kita menilai seorang perempuan
cantik? Biasanya akan memakai standar langsing, kulit kuning atau putih,
rambut panjang kalau perlu agak pirang (makanya banyak perempuan
Indonesia ramai-ramai rambutnya dipirang), hidung mancung, tubuh
semampai yang semua kriteria itu karena faktor budaya Barat yang sudah
sedemikian masuk ke pemikiran dan perilaku kita.
Tidak berlebihan jika pakar komunikasi Jalaluddin Rakhmat pernah
mengatakan bahwa kita saat ini memiliki dua dunia; dunia nyata dan dunia
yang sudah dibatasi oleh kamus memori manusia dan membatasi tentang
realitas, yakni newspeak. Dunia nyata adalah dunia apa adanya tanpa
pengaruh kamus tertentu berdasar pengamatan kita dalam arti sebenarnya.
Sedang dunia newspeak adalah dunia yang diciptakan untuk kepentingan
Amerika atas penggunaan kata dan pemberian makna tertentu.
Dengan demikian, media Barat telah menjadi kamus dari apa yang ingin
dilakukan oleh negara Barat atas dunia ini. Dunia newspeak telah
mempengaruhi pikiran kita, menuntun, dan memberikan kategori tertentu
kepada realitas yang kita hadapi sehari-hari. Dunia newspeak juga tanpa
sadar telah mengarahkan kita untuk berbuat dan tidak berbuat sesuai
“kamus” tersebut. Kita menjadi baik dan tidak baik juga bisa karena
“kamus” itu.
Melihat kenyataan tersebut tak ada cara lain media massa kita harus
melakukan rekonstruksi peristiwa yang disajikan media Barat. Artinya, tidak semua yang berasal dari Barat harus diterima dan ditelan mentah-mentah.
Muatan-mutan lokal meskipun seringkali masih dipahamai sebagai “yang
belum modern” lebih berguna untuk melawan hegemoni dunia newspeak
tersebut. Mengirim wartawannya ke luar negeri meskipun menjadi
kebanggaan media, bukan sesuatu yang hebat bagi masyarakat perkembangan
Indonesia di masa datang. Sebab tak sedikit diantara mereka yang tidak
melakukan investigasi ke lapangan, tetapi hanya sekadar mengutip dari
koran-koran dimana dia berada. Lalu apa bedanya dengan mengutip dari
kantor berita luar negeri?
Agaknya kita perlu belajar dari kode etik koran The New York Times yang
sudah berumur 100 tahun lebih dan telah mengawal 20 presiden Amerika dan
mempunyai reputasi baik dibanding koran Amerika yang lain, “All members
of the news staff of the New York Times share a common and essensial
interets in protecting the integrity of the newspaper” Integritas,
kemampuan dan reputasi itulah yang penting. Artinya, kepercayaan pembaca
adalah nomor satu.
Saturday, September 7, 2013
0 Media Barat dan Propaganda Amerika
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Post a Comment
Panduan Memberi Komentar
1.Masukan komentar anda
2.Lalu pada kata 'beri komentar sebagai' , pilih account yang anda punya, bagi yang belum mempunyai account pilih Name/url, isi nama anda dan Kosongkan URL atau isi dengan alamat facebook anda(untuk mengetahui alamat facebook anda silahkan login ke facebook dan pilih profile anda, anda dapat melihat alamat Facebook anda di atas, contoh alamat Facebook punya saya http://www.facebook.com/profile.php?id=1823916177
3.dan kemudian Publikasikan
4.Selesai dan anda tinggal menunggu komentar anda muncul
Semoga bermanfa'at.